Friday, January 6, 2012

Perkawinan Campuran dan Status Anak Hasil Perkawinan Campuran

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME.
Pengertian perkawinan campuran:
a. Menurut pasal 1 Gemende Huwelijken Regeling (GHR) adalah perkawinan antara
orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum berlainan.
b. Menurut pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah perkawinana antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Berdasarkan PP No. 2 Tahun 2007 tentang tata cara memperoleh kembali
kewarganegaraan adalah WNI yang hilang kewarganegaraan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 pasal
23 huruf I, dapat memeperoleh kembali kewarganegaraan RI dengan
mengajukan permohonan kepada mentri melalui pejabat atau perwakilan
RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.

Berdasarkan Peraturan Mentri Hukum dan Ham Nomor m.01-hl.03.01
tahun 2006 pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah WNI
yang bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama
5 (lima) tahun atau lebih yang tidak melaporkan diri kepada perwakilan
Republik Indonesia dan telah kehilangan kewarganegaraan Republik
Indonesia sebelum Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia diundangakan dapat memperoleh
kembali kewarganegaraan dengan mendaftarkan diri ke perwakilan
Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.

Status kewarganegaraan anak menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, antara lain;
a. Asas Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b. Asas Ius Soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
c. Asas Kewarganegaraan Tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan
bagi setiap orang.
d. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
e. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang
diberikan kepada anak dalam undang- undang ini merupakan pengecualian

STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN

Menurut Teori Hukum Perdata Internasional.
Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli)
Negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis),
Umumnya yg dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah2 keturunan yg sah. Contoh negara yg menganut sistem kewarganegraan dr ayah yaitu: Jerman, Yunani, Italia, Swiss & kelompok negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, semua anak-anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan itu sesuai dgn prinsip dlm UU kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.

Menurut UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958.
Ada 2 bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
a. Pria WNA menikah dengan Wanita WNI
Berdasarkan pasal 8 UU No. 62 Tahun 1958, Perempuan WNI yg kawin dengan WNA bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.

b. Wanita WNA menikah dengan Pria WNI
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No. 62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya.

Anak hasil perkawinan campuran.
Adanya asas kewarganegaraan tunggal dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No. 62 Tahun 1958, Anak yg berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan RI, turut memperoleh kewarganegaraan RI setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia.

Dalam ketentuan UU ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi WNI dan bisa menjadi WNA
Menjadi WNI
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI (psl 1 huruf b UU No. 62 Th 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya. Permasalahannya apabila Ibu memberi kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
Menjadi WNA
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang WNI dengan pria WNA. Anak tersebut sejak lahir dianggap sebagai WNA sehingga harus dibuatkan paspor di kedutaan besar ayahnya, dibuatkan kartu izin tinggal sementara (KITAS) yg hrs trs diperpanjang dan biaya pengurusannya tdk murah.

Thursday, October 27, 2011

Dejavu berhubungan dengan Reinkarnasi

Pemikiran dan Imajinasi Saya hari ini mengenai Hubungan Dejavu dengan Reinkarnasi.





Saya sering mengalami peristiwa Dejavu. Berkali-kali saya berada di suatu tempat dan merasakan bahwa di masa lalu saya pernah berada di tempat tersebut. Saya bisa merasakan kehidupan yang dulu pernah saya alami dan terjadi lagi. Kadang saya berfikir bahwa kejadian Dejavu memiliki kaitan dengan Reinkarnasi. Salah satu contoh peristiwa Dejavu yang saya alami adalah ketika saya berada di suatu tempat, tiba-tiba energy dalam diri saya membuka pikiran saya dan membawa saya ke dalam alam bawah sadar bahwa saya pernah berada di tempat tersebut pada masa lalu. Dari kejadian itu bisa disimpulkan bahwa Dejavu berhubungan dengan reinkarnasi. Di kehidupan masa lalu saya berada di tempat itu, kemudian saya dilahirkan kembali dan berada di tempat yang sama. Semoga Anda, para pembaca bisa memahami pemikiran dan imajinasi yang saya uraikan.


Oleh,
Ari Saputri

Wednesday, October 26, 2011

Pencapaian Kesempurnaan




Menurut Saya kepergian ke alam yang berada di atas level dunia tidak boleh ditangisi. Kepergian seorang manusia ke alam level atas atau Eden adalah pencapaian kesempurnaan. Mereka sudah menyelesaikan tugas di dunia ini dan telah mencapai kesempurnaan dan diijinkan untuk kembali ke Eden. Seharusnya kita harus menangisi diri kita yang masih berada di dunia dan belum menjalankan tugas yang telah diberikan kepada kita. Jika seluruh tugas sudah kita selesaikan, maka tingkat kesempurnaan tersebut akan kita raih. Kerajaan Eden yang merupakan asal kita akan senantiasa menanti kedatangan kita. Berterima kasihlah atas pencapaian kesempurnaan oleh orang lain. Berterima kasihlah kepada Sang Pencipta atas diterimanya kembali seseorang di kerajaan Eden atas pencapaian kesempurnaannya.

Oleh,
Ari Saputri

Monday, May 23, 2011

Hukum Perlindungan Konsumen

Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintas batas-batas wilayah suatu Negara.
Tampak barang dan atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produksi yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Kondisi yang demikian pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Pada sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Memperhatikan keadaan demikian, sehingga diperlukan upaya perlindungan konsumen dengan melibatkan berbagai pihak baik produsen, pemerintah, maupun konsumen sendiri.



PENDAHULUAN

Bila dilihat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : Tiap-tiap warganegara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memperoleh kehidupan yang layak itu perlu penyediaan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.
Kenyataan saat ini telah menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang bersekala yang besar maupun kecil, terutama sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan berencana yang disebut Pelita sejak zaman Orde Baru.
Pertumbuhan industri dan jasa yang pesat di satu segi berdampak positif yaitu ; Tersedianya persediaan kebutuhan yang mencukupi, mutunya baik, dan ada alternative pilihan. Sebaliknya segi negatifnya secara teknologi semakin ketatnya persaingan karena pengaruh masyarakat konsumen.
Ketatnya persaingan akan bisa mengubah perilaku kearah persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha mempunyai kepentingan yang saling berbenturan diantara mereka, akibat ini akan menimbulkan kerugian pada konsumen.
Menurut Prasasto Sudyatmiko ada empat contoh eleman yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat yaitu :
1. Konglomerasi
2. Kartel/trust.
3. Insaider trading
4. Persaingan tidak sehat/curang
Sekurang-kurangnya ada empat bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dari tidak sehatnya pihak bisnis seperti di atas yaitu : Menaikkan harga, menurunkan mutu, dumping, dan memalsukan produk.
Sehubungan dengan apa yang tersebut di atas konsumen perlu dilindungi secara hukum dari perbuatan bisnis curang tersebut untuk memenangkan persaingan. Oleh karena itu perlu peratuan hukum seperti misalnya cara membuat makanan yang sehat dan memberi perlindungan kepada konsumen yang diakibatkan oleh kesalahan memproduksi itu.
Perlindungan atas kepentingan konsumen ini diperlukan, karena konsumen pada umumnya berada di pihak yang lemah atau dirugikan. Masalah perlidungan konsumen bukan semata-mata masalah orang perorangan tetapi masalah besama atau masalah nasional sebab pada umumnya melidungi konsumen itu berarti melindungi kita bersama.
Dengan demikian sekurang-kurangnya ada 4 alasan pokok kenapa konsumen perlu dilindungi.
1. Melindungi konsumen sama halnya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia.
2. melindungi konsumen perlu untuk menghindari dari dampak negative penggunaan teknolog.
3. melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat jasmani dan rohani
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. (h.8)
Perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan kedua masalah keterikatan dengan syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian.
Karena berada dalam bidang perekonomian, khususnya dalam menjalankan bisnis maka hukum perlindungan konsumen termasuk dalam bidang hukum ekonomi. Dalam hukum perlindungan konsume dipersoalkan bgaimana ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan menjalankan bisnis sehingga tidak merugikan konsumen dan sebaliknya bagaimana konsumen dapat memperoleh perlindungan secara hukum atas hak-haknya sebagai konsumen.
Sehubungan dengan standarisasi ini pemerintah memegang peranan penting di dalam penetapa standarisasi, pembinaan dan pengawasan produk, serta distribusinga sehingga produsen benar-benar mentaatinya.





BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan :
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
Berbicara soal perlindungan konsumen mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen.
Cakupan perlindungan dalam dua aspek dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perlindungan kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam hal ini termasuk prsoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan penjual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan barangnya.
Biasanya syarat-syarat perjanjian itu telah tertuang dalam formulir yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu yang dicetak sedemikian rupa sehinga kadang-kadang tidak tebaca dan sulit dimengerti.

1. Tanggung jawab Produk.
Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk. Aspek ini sering disebut dengan produc leability. Dalam bahasa Indonesia disebut tanggung jawab produk.
Uraian diatas menunjjukkan bahwa tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, perjanjian Baku)
a. Pengertian
Aspek ke dua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang pemakaian standar kontrak dalam hubungannya antara produsen dengan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat suatu perjanjian tertentu, salah satu pihak telah mempersiapkan konsep (draf) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu sudah dissusun sedemikian rupa sehingga pada penandatangan tinggal menandatangani biasanya yang bersifat subyektif saja seperti identitas dan tanggal pembuatan perjajian. Sedangkan mengenai substansi perjanjian sudah ditulis dan tidak bisa diperbaiki.
Mengapa timbul praktik standar kontrak?. Tampaknya tidak ada alasan hukum (argumentasi yuridis) yang kuat untuk mendukungnya. Diperkirakan hanya untuk menghemat waktu dan uang (alasan ekonomis).

b. Problematik Penggunaan Standar Kontrak.
Dilihat dari segi kewenangan menetapkan syarat-syarat perjanjian standar kontrak dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu :
1. Standar kontrak publik
Adalah jenis standar kontrak yang ditetapkan oleh pemerintah Misalnya : akte jual beli tanah dan pembebanan hak atas tanah, yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT). Di sini pemerintah bermaksud untuk memberi keseragaman di samping bermaksud melidungi para pihak dari hal-hal yang merugikan.
2. Standar kontrak privat
Standar kontrak yang dibuat oleh badan/korporasi itu sendiri. Misalnya perjanjian kredit bank, perjanjian sewa menyewa dan sebagainya.
Dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak sebagaimana diatur dalam perjanjian yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen, produk dan standarisasi produk , peranan standar itu. Artinya pihak pungusaha (prinsipal), cendrung melinungi kepentingannya sedemikian rupa dengan menetapkan sejumlah hak sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan. Sebaliknya pengusaha meminimalkan kewajibannya sendiri, dan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa klausula-klausula standar kontrak cendrung menguntungkan pengusaha (prinsipal) sekaligus memberatkan pihak lawan.

B. BEBERAPA HAL YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung jawab produk , perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk kesatuan persepsi dalam pembahasan selanjutnya. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen, produk dan standarisasi produk, peranan pemerintah, serta klausula baku.

1. Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional. , Produsen yaitu setiap badan atau orang yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban dari produsen.
Tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.
Pasal 1 angka 3 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen, tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya , yaitu pelaku usaha yang diartikan sebagai berikut :
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha; baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah negara hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Dalam hal ini termasuk perusahaan, (korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya seperti BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan, importir, pedagang eceran, distributor, dan lain-lain.

2. Konsumen
Konsumen biasanya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Menurut Pasal 1 angka UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa :
Konsumen, yang berarti juga memungkinkan masyarakat terlibat dalam masalah ini adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (H. 17).
Sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 1 Angka 2 bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.
Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dengan masalah perlindungan konsumen ini.

3. Produk dan Standarisasi Produk.
Dalam pengertian luas, produk adalah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehtngga produk berkaitan erat dengan teknologi. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa :
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang perlindungan Konsumen bahwa :
Jasa, setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Pemakaian teknologi disatu segi memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka ragam jenis, bentuk, kegunaan maupun kualitas, sehingga kebutuhan konsumen dapat terpenuhi, secara luas, cepat dan menjangkau masyarakat luas. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi dimungkinkan menghasilkan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai.
Dengan standarisasi akan diperolah manfaat sebgai berikut :
1. Pemakaian bahan secara ekonomi, perbaikan mutu, penurunan ongkos produksi, dan penyerahan cepat. penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.
2. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.
3. Interchangeability komponen memungkinkan subcontracting.
4. Keselamatan kehidupan dan harta.
Dengan demikian standarisasi berfungsi menjembatani antara konsumen dengan produsen dengan menentukan standar produk yang tepat dan cepat.(20)
Untuk mencapai tujuan standarisasi ini yang perlu dimasukkan dalam standar produk adalah :
a. Terminologi dan definisi yang dapat dipakai sebagai bahasa yang sama-sama bisa dimengerti oleh produsen, penjual, distributor, dan konsumen.
b. Perlu ditentukan tingkat minimal bagi keselamatan, yang ditetapkan secara ahli yang memperhitungkan risiko yang dapat diterima.
c. Perlu ditetapkan cara dan produsen untuk menunjukkan apakah memenuhi persyaratan keselamatan minimum.
d. Perlu diusahakan kemungkinan dipertukarkan, baik bagi produk secara keseluruhan maupun bagi komponennya.
e. Perlu ditentukan kategori atau deret ukur yang cocok bagi konsumen; dan kemungkinan produsen untuk menghilangkan ragam produk yang tidak perlu.
f. Perlu dikembangkan perangkat cara dan prosedur yang legkap bagi pengukuran kemampuan dan mutu. (21)
Sebagai implementasi dari standarisasi ini, maka kepada produk yang sudah memenuhi standar diberikan sertifikasi produk (Certification Marking) yang dibuat dengan standar SII atau ANI, yang dapat ditempatkan pada produk, kemasannya, atau dokumennya.
Melalui sertifikasi produk ini akan diperoleh manfaat dan keuntungan, baik bagi produsen, maupun konsumen, yaitu sebagai berikut :
a. Bagi produsen, lebih memberikan bobot dan membuktikan bahwa hasil produksinya memenuhi persyaratan standar secara konsisten dan memberikan bantuan dalam meningkatkan penjualannya di pasar dalam dan luar negeri
b. Bagi pemakai profesional atau konsumen umum, memberikan indikasi yang dapat dipercaya bahwa barang-barang sesuai dengan persyaratan standar secara konsisten.
c. Transaksi lebih lancar karena pemakai atau konsumen tidak perlu menguji dulu barang-barang yang akan dibelinya.
Untuk bisa mencapai manfaat dan keuntungan ini produsen diperlukan kejujuran untuk mentaati standarisai yang sudah ditetapkan.(23)

4.Peranan Pemerintah.
Supaya tujuan standarisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, dan mengendalikan produksi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatan maupun keuangannya.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah :
a. Registrasi atau penilaian.
b. Pengawasan produksi
c. Pengawasan distribusi
d. Pembinaan dan pengawasan usaha
e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.(24)

5. Klausula Baku
Sehubungan dengan standar kontrak adalah menggunakan klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang perlindungan Konsumen adalah:
Klasula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Pembuat UU ini menerima kenyataan bahwa pemberlakuan standar kontrak suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.
Namun demikian, dirasa perlu untuk mengaturnya sehingga tidak disalahgunakan dan atau menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan konsumen membuat sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam (standar) kontrak, yaitu sebbagai berikut :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang merupakan aturan baru, tambahan, lanjutan , dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memnfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan, terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2). Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit dilihat atau tidak bisa dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3).Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UU ini.

Dari ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen di atas, larangan penggunaan standar kontrak dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya.
Di samping itu, undang-undang ini mewajibkan pelaku usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang dipergunakan dengan ketentuan undang-undang ini.(27)























Status Kewarganegaraan Anak hasil Perkawinan Beda Kewarganegaraan



Puluhan ibu serta aktivis beberapa LSM yang hadir pada pengesahan Undang Undang Kewarganegaraan baru pada 11 Juli 2006 lalu di gedung DPR/MPR Jakarta bersorak gembira. Peluk cium juga tangis kebahagiaan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya dan kibaran merah putih memeriahkan pemandangan di luar ruang sidang.
Hari itu DPR mengesahkan UU Kewarganegaraan baru menggantikan UU No 62 tahun 1958 yang mengacu pada Staanblad 1910-296 warisan pemerintah Kolonial Belanda. UU baru baru yang sangat berarti bagi anak-anak hasil perkawinan wanita WNI dengan pria WNA, juga anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri.

Menurut UU No.62/1958 yang menganut asas Ius Sanguinis (kewarganegaraan mengambil garis darah ayah), anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita WNI dengan pria WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Dalam UU kewarganegaraan baru disebutkan bahwa WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya.
Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI, atau selama masa tenggang tiga (3) tahun itu, ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia.
Bagian yang paling penting dari UU baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan Ius Soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun.
Artinya, sampai anak berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut, plus tenggang waktu 3 tahun untuk mempersiapkannya, barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya.

Beberapa WNI di Inggris, yang sudah berstatus permanent resident (PR) banyak yang tidak sadar bahwa anak mereka yang lahir setelah status PR keluar, menurut UU Kewarganegaraan Inggris otomatis si anak menjadi Warga Negara Inggris. Dan menurut UU Inggris itu, si anak baru bisa pindah kewarganegaraan lain setelah usia 18 tahun.
Kerepotan ini terjadi ketika kedua orang tua anak tersebut berencana meninggalkan Inggris sebelum anak berusia 18 tahun. Dengan UU Kewarganegaraan baru ini, anak-anak tersebut bisa memiliki kewarganegaraan ganda (Warga Negara Inggris dan Warga Negara Indonesia) sampai usai 18 tahun. Dan kelebihannya lagi, UU Kewarganegaraan baru ini juga berlaku bagi-anak anak yang lahir sebelum tanggal 11 Juli 2006. Artinya, anak-anak Indonesia di luar negeri yang karena peraturan negara mereka tinggal telah menjadi warga negara tersebut bisa apply menjadi WNI dan mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usai 18 tahun plus 3 tahun masa peralihan.



BAB II
WARGA NEGARA INDONESIA
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah:
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
e. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asala ayahnya tidak memberikan kewargaanegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun dan/atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Pasal 5
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf f, huruf m, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.





Menurut UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006
1. Status Kewarganegaraan Anak
Dalam Undang-Undang kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 Memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut :
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
5. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan orang tua, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat 1 sampai 3 UU No. 12 Tahun 2006 yakni :
1. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
2. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
3. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

Status kewarganegaraan anak berdasarkan aturan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Hal tersebut diatur dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, yang berbunyi : “Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.”
Untuk anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin akan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan yakni pada tahun 2010. (Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006). Namun jika sampai tenggat 1 Agustus 2010 anak-anak hasil perkawinan campuran ini tidak didaftarkan ke Depkumham, maka mereka akan kehilangan hak menjadi WNI. Mereka akan diperlakukan sebagai WNA yang izin tinggalnya memakai KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) dan masuk ke Indonesia memakai Visa. Selama anak tersebut berstatus WNA, ia tidak masuk yurisdiksi Indonesia. Jadi kalau anak tersebut berada di luar negeri ia tidak bisa masuk KBRI untuk minta perlindungan.
Pemberian kewarganegaraan ganda dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 bagi anak hasil perkawinan campuran ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas (sampai usai 18 tahun atau sudah menikah) untuk anak hasil perkawinan campuran.


2. Kendala Kewarganegaraan Ganda Bagi Anak
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetapi berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil (syarat yang menyangkut pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah)
harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil (syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan, biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan) mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.
Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

Friday, October 22, 2010

Teknik Pembuatan UU

A. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Undang-Undang.
Peraturan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU No. 10 tahun 2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini menegaskan bahwa lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR).
Dalam perencanaan pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden, maupun DPD berhak mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 21 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden’.
Dari beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan undang-undang dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan sebagai diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan rancangan undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui komisi atau bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan RUU.

B. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pada dasarnya, pembuatan undang-undang melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004).

1. Tahap Perencanaan
Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) (Setyowati & Solikhin, 2007).

2. Tahap Persiapan
Pasal 17 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Rancangan undang-undang yang dapat diajukan sebagai diatur dalam ayat 2 adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17 ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan tertentu (Pasal 17 ayat 3).
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pembentukan undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada lembaga lainnya. Setelah draft rancangan diterima, maka wakil dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

3.Teknik Penyusunan
Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundangan-undangan.
Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian (Setyowati & Sholikin, 2007).

4.Tahap Pembahasan
Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR (Setyowati, 2006).
a. Pembahasan tingkat pertama
Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut, yaitu:
1. Pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:
a. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU).
b. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain.
c. Diadakan rapat intern
b. Pembahasan tingkat dua
Pembahasan tingkat dua melputi tahap-tahap sebagai berikut:
a. Laporan hasil pembicaraan tingkat I
b. Pendapat akhir fraksi
c. Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya

5. Tahap Pengesahan
Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.

6. Tahap Pengundangan
Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara.

7. Penyebarluasan
Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR.

Thursday, October 21, 2010

Filsafat Hukum - Yurisprudence

BAB II
DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM
1. PENGERTIAN YURISPRUDENCE
• Filsafat Hukum diterjemahkan dari kata Jurisprudence yang merupakan Khasanah bahasa latin.
• Jurisprudence (sebenarnya harus ditulis Iurisprudens) dalam bahasa latin terdiri dari 2 kata:
a. Iuris (dari kata Ius) yang berarti adil, benar/kebenaran
- Bahasa Sanskrit (Sansekerta) disebut Yoh yang berarti sehat/kesehatan
- Bahasa Ibrani disebut Yod yang berarti sumber cahaya
- Bahasa Persia dalam tradisi Zoroastriam, yaozdadaiti yang berarti yang murni/yang dimurnikan.
- Dikenal juga Lex yang berarti peraturan perundang-undangan.
Bahasa Perancis: Droit untuk Ius dan Loi untuk Lex.
Bahasa German: Recht untuk Ius dan Gesetz untuk lex.
b. Prudens (ntis) yang berarti kebijaksanaan, yang bermakna pemahaman akan praksis kehidupan (kearifan dalam laku).
- Prudens membuat kita menjadi arif dalam menjalani hidup. Hidup kita dikendalikan oleh keutamaan.
- Prudens adalah kebjakan yang tertinggi.
• Jurisprudence adalah praksis hidup yang adil dan benar.
• Jurisprudence (dalam Ilmu hukum Indonesia) diartikan sebagai disiplin hukum atau ajaran hukum dan menjadi ilmu yang mengorientasi seseorang pada keahlian praktis (terutama) dibandingkan teoritis.
• Jurisprudence adalah filsafat yang mengarahkan seseorang untuk menjadi arif (prudens) dalam praksis hidup yang faktanya hukum hidup dalam praksis hidup tersebut (dalam kerangka bermasyarakat).
• Seringkali Jurisprudence atau Filsafat Hukum lekat dengan Etika, karena keduanya sama-sama ingin menjawab pertanyaan “apa yang harus kita lakukan”.
• JURISPRUDENCE adalah Filsafat Hukum atau disiplin hukum atau ajaran hukum.
• Studi filsafat hukum di Fakultas Hukum akan berbeda dengan studi Filsafat Hukum di Fakultas Filsafat. Di Fakultas Hukum pendekatan yang kita gunakan lebih ke pendekatan tematis. Dan tataran perspektif kita juga berbeda, karena kita belajar Fakultas Hukum sebagai sebuah filsafat praktis, yang mencoba menjawab pertanyaan dalam dimensi laku “apa yang harus kita lakukan”.
• Secara historis, filsafat hukum pada mulanya dipelajari melalui perenungan-perenungan yang sifatnya abstrak. Perenunga filosofis ini dirintis oleh tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno, seperti Aristoteles, Plato dll. Namun semenjak mulai menguatnya pengaruh kekuasaan bangsa Romawi, yang menyebarluskan teks-teks hukumnya ke seluruh penjuru Eropa, didukung dengan dibentuknya sekolah-sekolah hukum di kawasan tersebut, studi tentang hukum mulai mengalami perubahan, baik secara epistemologis maupun metodologis. Sekolah hukum dibentuk untuk menciptakan ahli-ahli hukum yang mampu membuat aturan dan menyelesaikan sengketa hukum, yang makin tinggi intensitasnya, semenjak berkembangnya kegiatan perdagangan dan tumbuhnya kota-kota baru di seantero Eropa.
• Perubahan yang paling menyolok adalah hukum tidak lagi dikaji sebagai perenungan refleksi, karena hukum dilihat dalam kerangka yang lebih prkatis. Hukum tidak lagi bersifat abstrak, tapi menjadi konkret dalam kodeks hukum (kitab hukum). Cara berfikir bangsa romawi telah mengubahnya. Pengaruh pemikiran Romawi ini yang merubah seluruh tatanan keilmuan dari hukum termasuk filsafat hukum.
• Pengaruh sifat praktis awal mulanya terjadi ketika, filsafat yang dianggap bernuansa abstrak an tidak bermanfaat bagi kebanyakan orang, bahkan hanya melelahkan pikiran kita saja dan akhirnya mulai ditinggalkan.
• Para pemikir hukum mulai berpindah untuk menguasai ilmu tentang ketrampilan hukum yang amat teknis sifatnya, yakni Ilmu Hukum. Karena keketatan metodologis yang juga dianggap sama melelahkan, membuat para pemikir hukum saat itu mencari “jalan tengah” anatara filsafat hukum dan ilmu hukum.
• “Jalan Tengah” melahirkan cabang baru dalam pemikiran hukum, yakni Teori Ilmu Hukum (Teori Hukum), atau dikenal juga dengan istilah Jurisprudence. Teori hukum sebagai perkembangan lebih lanjut dari Ajaran Hukum Umum, yang berkembang di Eropa Kontinental merupakan cabang pengetahuan hukum yang dapat digolongkan sebagai “filsafat” dalam bidang hukum. Karena ada sifat praktisnya, maka dapat disebut sebagai teori. Oleh sebab itu, menurut Theo Huijbers, Jurisprudence disebut sengai filsafat hukum juga, yang mengandung sifat-sifatnya yang praktis, karena tujuan utamanya memang untuk menjawab tentang apa yang seharusnya dilakukan menurut hukum.

2. FAKTOR IDEOLOGI
• Ideologi dalam ilmu hukum dilihat sebagai sebuah system pandangan atau cara berfikir tentang bagaimana seharusnya kehidupan dunia.
• Jurisprudence atau filsafat hukum atau disiplin hukum tidak dapat dilepaskan dari factor ideology karena dalam disiplin hukum kita mempelajari bagaimana setiap pemikir menulis pemikirannya tentang duania yang ideal atau tentang bagaimana kehidupan dunia itu seharusnya atau seyogyanya berjalan.
• Prespertif yang diambil dan yang digunakan untuk memandang sebuah objek pemikiran filosofis pun tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang melekat pada sang pemikir.
• Dalam diri Pemikir telah ada suatu paradigm sebagai fenomena yang menggambarkan betapa manusia tidak dapat lepas dari cara memandang sebuah dunia. Karena paradigma adalah cara bagaimana sesorang melihat dunia (termasuk pandangan mengenai bagaimana seharusnya). Dengan hal ini orang dimungkinkan untuk memecahkanmasalah yang ada. Pemecahan masalah mengandaikan adanya sebuah dunia ideal yang dianut oleh seseorang terhadap sebuah objek amatan.

3. JURISPRUDENCE DAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS).
• Ilmu pengetahuan atau Sains lekat dengan empirisme dan metode ilmiah.
• Pembuktian-pembuktian yang memenuhi tuntutan indrawi secara empiris harus dipenuhi dalam sains. Hubungan kausalitas sangat memainkan peranan penting dalam logika ilmu pengetahuan. Sebuah proposisi akan sebuah hal menyebabkan timbulnya proposisi yang lainnya.
• Ilmu pengetahuan atau sains berciri adanya prinsip kausalitas yang mendominasi dalam operasi proposisi-proposisinya. Empirisme sangat kental dalam dasar-dasar pengukuran akan sebuah proposisi. Pengujian (verifikasi) dan penarikan sebuah simpulan menggunakan induksi (metode ilmiah).
• Filsafat Hukum atau Disiplin Hukum yang kita pelajari ini bukanlah sebuah sains dalam pengertian yang sedemikian. Kita mempelajari norma yang objeknya sama sekali berbeda dengan sains dan juga tentunya metode yang kita gunakan.
• Berikut ini adalah perbedaan disiplin hukum dengan sains, dengan menunjukkan seara persis karakter-karakter umum dari disiplin hukum:
a. Karakter Normatif dari hukum
- Norma (latin) artinya pedoman atau ukuran.
- Dalam hukum kita memahami norma sebagai patokan atau pedoman sikap tindak kita.
- Sebuah norma mengindikasi adanya keharusan bagi kita untuk melakuakan suatu sikap tindak tertentu.
- Suatu pernyataan normatif adalah pernyataan yang masing-masing unsur pembentuknya berhubungan dalam relasi keharusan bukan kausal.
- Sebuah pernyataan seharusnya disusul dengan pernyataan lainnya, dan bukannya sebuah pernyataan mengakibatkan munculnya pernyataan yang lainnya. Kant menyatakan hal tersebut sebagai Sollen (ought) bukanya sein. Tetapi keharusan tersebut tidak selalu mengimplikasikan sebuah moralitas. Sebuah normativitas menyatakan keharusan (yang sifatnya prespektif).
- Karakter normative dari hukum adalah bahwa hukum mengindikasikan sebuah pedoman atau patokan, dalam hal ini patokan bersifat tindak. Pedoman atau patokan ini berisi pernyataan-pernyataan yang satu pernyataan dengan pernyataan lainnya dihubungkan dengan relasi keharusan. Artinya sebuah pernyataan akan seharusnya mengimplikasikan pernyataan lainnya (sebuah peristiwa harus dilakukan karena telah ada, sebelaumnya, peristiwa tertentu).
b. Karakter Ought.
- Pasangan dari ought adalah is atau sollen dengan sein. Sollen atau ought mewakili cara berfikir normative, dalam hal ini identik dengan logika deontologist (etika kewajiban). Sein atau is mewakili cara berfikir yang empiris. Karakter ought menegaskan bahwa proposisi dalam hukum adalah keharusan, bukan pernyataan yang fakta.
- Kecenderungan untuk memunculkan aturan-aturan normative (norma) dari hukum fisik atau alam, atau menganalisisnya atau mendefinisikannya dalam term dan kualitas fisikal atau fenomena fisik (alam), sudah menjadi kecenderungan yang meluas sejk lama.
- Banyak usaha pula untuk mendasarkan hukum positif pada hukum alam yang tak berubah dalam mengatur alam semesta ikut serta dalam usaha menghubungkan aturan-aturan normative langsung dengan hipotesis sementara yang berkarakter faktual.
- Sudah sejak lama Hume mengingatkan bahwa sebuah kesalahan mencoba menarik sebuah keharusan dari kenyataan dan sebuah pernyataan normative tidak dapat disimpulkan secara murni langsung dari kenyataan. Begitu pula dengan usaha untuk mendefinisikan norma moral dari hal-hal yang dapat dipastikan atau diverifikasi sebagai faktual seperti misalnya kesenganan dan kegunaan.
- Menurut G.E. Moore hal tersebut diatas akan melibatkan kebingungan yang diformulasikannya sebagai kesalahan yang alamiah. Dengan kata lain memang ada jurang yang cukup besar antara ought dan is atau antara norma dengan fakta, tetapi hal ini tidak berarti seperti yang telah dipikirkan, bahwa pernyataan normative menempati dunia tersendiri dari dunia faktual.
- Di abad itu ada wacana linguistic turn (dari Wittgenstein) yang ikut mempertajam dan memperjelas pembedaan antara penggunaan bahasa secara normative dan faktual.
- Yuris seperti Hart dan raz telah juga menyoroti bagaimana struktur logis dari bentuk imperative dan normative dari bahasa. Walaupun belum begitu menjawab permasalahan perbedaan tersebut tetapi tetap menjadi penjelas juga. Sebuah pernyataan tentang harus melakukan sesuatu tidak memberikan sebuah diskripsi tentang fakta tetapi untuk mempreskripsikan suatu tindak didasarkan pada implikasi bahwa rasio ada untuk bertindak dan juga adanya standard an criteria untuk menilainya dengan menilai rasio tersebut.

4. MAKNA HUKUM.
Beberapa definisi tentang hukum:
1. Adamson Hoebel mendefinisikan bahwa sebuah norma social merupakan hukum apabila sebuah kelalaian akan norma sosial tersebut atau pelanggaran terhadapnya biasanya berhadapan dengan sebuah ancaman dengan diterapkannya tekanan fisik oleh seorang individu atau oleh sekelompok individu yang memiliki privelese yang diakui untuk melakukan hal tersebut.
2. Donald Black: Hukum sebagai tatanan dari control sosial meliputi segala tindakan oleh lembaga politik yang berkaitan dengan batasan dari control sosial itu atau segala sesuatu yang mencoba mempertahankannya.
3. Max Weber: Hukum sebuah tatanan yang secara eksternal dijamin oleh kemungkinan yang nyata bahwa paksaan (baik itu fisik ataupun psikis) diadakan untuk semakin menyempurnakan konformitas terhadapnya atau sanksi kekerasan akan diterapkan atasnya apabila menjauhi konformitas oleh seorang dari orang-orang yang telah terlatih secara khusus untuk tujuan tersebut.
4. Austin: Hukum adalah sebuah perintah dari yang berdaulat.
5. Oliver Wendell Holmes, Jr: Hukum sebagai sebuah “ramalan dari apa yang akan dilakukan oleh pengadilan”.
6. Talcott Parsons: hukum sebagai sebuah kode normatif umum yang melakukan fungsi integratif.
7. Philip Selznick: hukum sebagai sebuah tatanan aturan yang memuat mekanisme khusus untuk melegitimasi (menyatakan) bahwa aturan-aturan tersebut mempunyai otoritas dan dibentuk untuk melindungi pembuatan aturan dan penerapan aturan dari pencemaran bentuk-bentuk pedoman atau aturan atau kontrol yang lainnya. Hukum menunjuk pada sebuah konsep legalitas yang berkaitan dengan bagaimana sebuah kebijakan dan aturan-aturan dibuat serta diterapkan lebih dibandingkan dari muatannya.
Syarat formal dari hukum:
- Hukum atau norma sangat lekat dengan ciri kepastian dan keteraturan. Sebuah patokan, pedoman atau norma akan terlihat dari adanya kepastian dan keteraturan.
- Hukum atau norma harus memperhatikan keadilan.
Legalitas dan Moralitas menurut Immanuel kant:
- Legalitas: dilihat sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka.
- Moralitas: kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan kita dengan norma atau hukum batiniah kita.
Hukum batiniah kita adalah apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita.
Visi humanities Kant menyatkan bahwa moralitas akan tercapai apabila kita melihat hukum lahiriah bukan lantaran hal tersebut membawa akibat yang menguntungkan bagi kita atau lantaran kita takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.