Friday, October 22, 2010

Teknik Pembuatan UU

A. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Undang-Undang.
Peraturan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU No. 10 tahun 2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini menegaskan bahwa lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR).
Dalam perencanaan pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden, maupun DPD berhak mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 21 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden’.
Dari beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan undang-undang dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan sebagai diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan rancangan undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui komisi atau bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan RUU.

B. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pada dasarnya, pembuatan undang-undang melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004).

1. Tahap Perencanaan
Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) (Setyowati & Solikhin, 2007).

2. Tahap Persiapan
Pasal 17 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Rancangan undang-undang yang dapat diajukan sebagai diatur dalam ayat 2 adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17 ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan tertentu (Pasal 17 ayat 3).
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pembentukan undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada lembaga lainnya. Setelah draft rancangan diterima, maka wakil dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

3.Teknik Penyusunan
Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundangan-undangan.
Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian (Setyowati & Sholikin, 2007).

4.Tahap Pembahasan
Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR (Setyowati, 2006).
a. Pembahasan tingkat pertama
Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut, yaitu:
1. Pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:
a. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU).
b. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain.
c. Diadakan rapat intern
b. Pembahasan tingkat dua
Pembahasan tingkat dua melputi tahap-tahap sebagai berikut:
a. Laporan hasil pembicaraan tingkat I
b. Pendapat akhir fraksi
c. Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya

5. Tahap Pengesahan
Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.

6. Tahap Pengundangan
Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara.

7. Penyebarluasan
Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR.

Thursday, October 21, 2010

Filsafat Hukum - Yurisprudence

BAB II
DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM
1. PENGERTIAN YURISPRUDENCE
• Filsafat Hukum diterjemahkan dari kata Jurisprudence yang merupakan Khasanah bahasa latin.
• Jurisprudence (sebenarnya harus ditulis Iurisprudens) dalam bahasa latin terdiri dari 2 kata:
a. Iuris (dari kata Ius) yang berarti adil, benar/kebenaran
- Bahasa Sanskrit (Sansekerta) disebut Yoh yang berarti sehat/kesehatan
- Bahasa Ibrani disebut Yod yang berarti sumber cahaya
- Bahasa Persia dalam tradisi Zoroastriam, yaozdadaiti yang berarti yang murni/yang dimurnikan.
- Dikenal juga Lex yang berarti peraturan perundang-undangan.
Bahasa Perancis: Droit untuk Ius dan Loi untuk Lex.
Bahasa German: Recht untuk Ius dan Gesetz untuk lex.
b. Prudens (ntis) yang berarti kebijaksanaan, yang bermakna pemahaman akan praksis kehidupan (kearifan dalam laku).
- Prudens membuat kita menjadi arif dalam menjalani hidup. Hidup kita dikendalikan oleh keutamaan.
- Prudens adalah kebjakan yang tertinggi.
• Jurisprudence adalah praksis hidup yang adil dan benar.
• Jurisprudence (dalam Ilmu hukum Indonesia) diartikan sebagai disiplin hukum atau ajaran hukum dan menjadi ilmu yang mengorientasi seseorang pada keahlian praktis (terutama) dibandingkan teoritis.
• Jurisprudence adalah filsafat yang mengarahkan seseorang untuk menjadi arif (prudens) dalam praksis hidup yang faktanya hukum hidup dalam praksis hidup tersebut (dalam kerangka bermasyarakat).
• Seringkali Jurisprudence atau Filsafat Hukum lekat dengan Etika, karena keduanya sama-sama ingin menjawab pertanyaan “apa yang harus kita lakukan”.
• JURISPRUDENCE adalah Filsafat Hukum atau disiplin hukum atau ajaran hukum.
• Studi filsafat hukum di Fakultas Hukum akan berbeda dengan studi Filsafat Hukum di Fakultas Filsafat. Di Fakultas Hukum pendekatan yang kita gunakan lebih ke pendekatan tematis. Dan tataran perspektif kita juga berbeda, karena kita belajar Fakultas Hukum sebagai sebuah filsafat praktis, yang mencoba menjawab pertanyaan dalam dimensi laku “apa yang harus kita lakukan”.
• Secara historis, filsafat hukum pada mulanya dipelajari melalui perenungan-perenungan yang sifatnya abstrak. Perenunga filosofis ini dirintis oleh tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno, seperti Aristoteles, Plato dll. Namun semenjak mulai menguatnya pengaruh kekuasaan bangsa Romawi, yang menyebarluskan teks-teks hukumnya ke seluruh penjuru Eropa, didukung dengan dibentuknya sekolah-sekolah hukum di kawasan tersebut, studi tentang hukum mulai mengalami perubahan, baik secara epistemologis maupun metodologis. Sekolah hukum dibentuk untuk menciptakan ahli-ahli hukum yang mampu membuat aturan dan menyelesaikan sengketa hukum, yang makin tinggi intensitasnya, semenjak berkembangnya kegiatan perdagangan dan tumbuhnya kota-kota baru di seantero Eropa.
• Perubahan yang paling menyolok adalah hukum tidak lagi dikaji sebagai perenungan refleksi, karena hukum dilihat dalam kerangka yang lebih prkatis. Hukum tidak lagi bersifat abstrak, tapi menjadi konkret dalam kodeks hukum (kitab hukum). Cara berfikir bangsa romawi telah mengubahnya. Pengaruh pemikiran Romawi ini yang merubah seluruh tatanan keilmuan dari hukum termasuk filsafat hukum.
• Pengaruh sifat praktis awal mulanya terjadi ketika, filsafat yang dianggap bernuansa abstrak an tidak bermanfaat bagi kebanyakan orang, bahkan hanya melelahkan pikiran kita saja dan akhirnya mulai ditinggalkan.
• Para pemikir hukum mulai berpindah untuk menguasai ilmu tentang ketrampilan hukum yang amat teknis sifatnya, yakni Ilmu Hukum. Karena keketatan metodologis yang juga dianggap sama melelahkan, membuat para pemikir hukum saat itu mencari “jalan tengah” anatara filsafat hukum dan ilmu hukum.
• “Jalan Tengah” melahirkan cabang baru dalam pemikiran hukum, yakni Teori Ilmu Hukum (Teori Hukum), atau dikenal juga dengan istilah Jurisprudence. Teori hukum sebagai perkembangan lebih lanjut dari Ajaran Hukum Umum, yang berkembang di Eropa Kontinental merupakan cabang pengetahuan hukum yang dapat digolongkan sebagai “filsafat” dalam bidang hukum. Karena ada sifat praktisnya, maka dapat disebut sebagai teori. Oleh sebab itu, menurut Theo Huijbers, Jurisprudence disebut sengai filsafat hukum juga, yang mengandung sifat-sifatnya yang praktis, karena tujuan utamanya memang untuk menjawab tentang apa yang seharusnya dilakukan menurut hukum.

2. FAKTOR IDEOLOGI
• Ideologi dalam ilmu hukum dilihat sebagai sebuah system pandangan atau cara berfikir tentang bagaimana seharusnya kehidupan dunia.
• Jurisprudence atau filsafat hukum atau disiplin hukum tidak dapat dilepaskan dari factor ideology karena dalam disiplin hukum kita mempelajari bagaimana setiap pemikir menulis pemikirannya tentang duania yang ideal atau tentang bagaimana kehidupan dunia itu seharusnya atau seyogyanya berjalan.
• Prespertif yang diambil dan yang digunakan untuk memandang sebuah objek pemikiran filosofis pun tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang melekat pada sang pemikir.
• Dalam diri Pemikir telah ada suatu paradigm sebagai fenomena yang menggambarkan betapa manusia tidak dapat lepas dari cara memandang sebuah dunia. Karena paradigma adalah cara bagaimana sesorang melihat dunia (termasuk pandangan mengenai bagaimana seharusnya). Dengan hal ini orang dimungkinkan untuk memecahkanmasalah yang ada. Pemecahan masalah mengandaikan adanya sebuah dunia ideal yang dianut oleh seseorang terhadap sebuah objek amatan.

3. JURISPRUDENCE DAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS).
• Ilmu pengetahuan atau Sains lekat dengan empirisme dan metode ilmiah.
• Pembuktian-pembuktian yang memenuhi tuntutan indrawi secara empiris harus dipenuhi dalam sains. Hubungan kausalitas sangat memainkan peranan penting dalam logika ilmu pengetahuan. Sebuah proposisi akan sebuah hal menyebabkan timbulnya proposisi yang lainnya.
• Ilmu pengetahuan atau sains berciri adanya prinsip kausalitas yang mendominasi dalam operasi proposisi-proposisinya. Empirisme sangat kental dalam dasar-dasar pengukuran akan sebuah proposisi. Pengujian (verifikasi) dan penarikan sebuah simpulan menggunakan induksi (metode ilmiah).
• Filsafat Hukum atau Disiplin Hukum yang kita pelajari ini bukanlah sebuah sains dalam pengertian yang sedemikian. Kita mempelajari norma yang objeknya sama sekali berbeda dengan sains dan juga tentunya metode yang kita gunakan.
• Berikut ini adalah perbedaan disiplin hukum dengan sains, dengan menunjukkan seara persis karakter-karakter umum dari disiplin hukum:
a. Karakter Normatif dari hukum
- Norma (latin) artinya pedoman atau ukuran.
- Dalam hukum kita memahami norma sebagai patokan atau pedoman sikap tindak kita.
- Sebuah norma mengindikasi adanya keharusan bagi kita untuk melakuakan suatu sikap tindak tertentu.
- Suatu pernyataan normatif adalah pernyataan yang masing-masing unsur pembentuknya berhubungan dalam relasi keharusan bukan kausal.
- Sebuah pernyataan seharusnya disusul dengan pernyataan lainnya, dan bukannya sebuah pernyataan mengakibatkan munculnya pernyataan yang lainnya. Kant menyatakan hal tersebut sebagai Sollen (ought) bukanya sein. Tetapi keharusan tersebut tidak selalu mengimplikasikan sebuah moralitas. Sebuah normativitas menyatakan keharusan (yang sifatnya prespektif).
- Karakter normative dari hukum adalah bahwa hukum mengindikasikan sebuah pedoman atau patokan, dalam hal ini patokan bersifat tindak. Pedoman atau patokan ini berisi pernyataan-pernyataan yang satu pernyataan dengan pernyataan lainnya dihubungkan dengan relasi keharusan. Artinya sebuah pernyataan akan seharusnya mengimplikasikan pernyataan lainnya (sebuah peristiwa harus dilakukan karena telah ada, sebelaumnya, peristiwa tertentu).
b. Karakter Ought.
- Pasangan dari ought adalah is atau sollen dengan sein. Sollen atau ought mewakili cara berfikir normative, dalam hal ini identik dengan logika deontologist (etika kewajiban). Sein atau is mewakili cara berfikir yang empiris. Karakter ought menegaskan bahwa proposisi dalam hukum adalah keharusan, bukan pernyataan yang fakta.
- Kecenderungan untuk memunculkan aturan-aturan normative (norma) dari hukum fisik atau alam, atau menganalisisnya atau mendefinisikannya dalam term dan kualitas fisikal atau fenomena fisik (alam), sudah menjadi kecenderungan yang meluas sejk lama.
- Banyak usaha pula untuk mendasarkan hukum positif pada hukum alam yang tak berubah dalam mengatur alam semesta ikut serta dalam usaha menghubungkan aturan-aturan normative langsung dengan hipotesis sementara yang berkarakter faktual.
- Sudah sejak lama Hume mengingatkan bahwa sebuah kesalahan mencoba menarik sebuah keharusan dari kenyataan dan sebuah pernyataan normative tidak dapat disimpulkan secara murni langsung dari kenyataan. Begitu pula dengan usaha untuk mendefinisikan norma moral dari hal-hal yang dapat dipastikan atau diverifikasi sebagai faktual seperti misalnya kesenganan dan kegunaan.
- Menurut G.E. Moore hal tersebut diatas akan melibatkan kebingungan yang diformulasikannya sebagai kesalahan yang alamiah. Dengan kata lain memang ada jurang yang cukup besar antara ought dan is atau antara norma dengan fakta, tetapi hal ini tidak berarti seperti yang telah dipikirkan, bahwa pernyataan normative menempati dunia tersendiri dari dunia faktual.
- Di abad itu ada wacana linguistic turn (dari Wittgenstein) yang ikut mempertajam dan memperjelas pembedaan antara penggunaan bahasa secara normative dan faktual.
- Yuris seperti Hart dan raz telah juga menyoroti bagaimana struktur logis dari bentuk imperative dan normative dari bahasa. Walaupun belum begitu menjawab permasalahan perbedaan tersebut tetapi tetap menjadi penjelas juga. Sebuah pernyataan tentang harus melakukan sesuatu tidak memberikan sebuah diskripsi tentang fakta tetapi untuk mempreskripsikan suatu tindak didasarkan pada implikasi bahwa rasio ada untuk bertindak dan juga adanya standard an criteria untuk menilainya dengan menilai rasio tersebut.

4. MAKNA HUKUM.
Beberapa definisi tentang hukum:
1. Adamson Hoebel mendefinisikan bahwa sebuah norma social merupakan hukum apabila sebuah kelalaian akan norma sosial tersebut atau pelanggaran terhadapnya biasanya berhadapan dengan sebuah ancaman dengan diterapkannya tekanan fisik oleh seorang individu atau oleh sekelompok individu yang memiliki privelese yang diakui untuk melakukan hal tersebut.
2. Donald Black: Hukum sebagai tatanan dari control sosial meliputi segala tindakan oleh lembaga politik yang berkaitan dengan batasan dari control sosial itu atau segala sesuatu yang mencoba mempertahankannya.
3. Max Weber: Hukum sebuah tatanan yang secara eksternal dijamin oleh kemungkinan yang nyata bahwa paksaan (baik itu fisik ataupun psikis) diadakan untuk semakin menyempurnakan konformitas terhadapnya atau sanksi kekerasan akan diterapkan atasnya apabila menjauhi konformitas oleh seorang dari orang-orang yang telah terlatih secara khusus untuk tujuan tersebut.
4. Austin: Hukum adalah sebuah perintah dari yang berdaulat.
5. Oliver Wendell Holmes, Jr: Hukum sebagai sebuah “ramalan dari apa yang akan dilakukan oleh pengadilan”.
6. Talcott Parsons: hukum sebagai sebuah kode normatif umum yang melakukan fungsi integratif.
7. Philip Selznick: hukum sebagai sebuah tatanan aturan yang memuat mekanisme khusus untuk melegitimasi (menyatakan) bahwa aturan-aturan tersebut mempunyai otoritas dan dibentuk untuk melindungi pembuatan aturan dan penerapan aturan dari pencemaran bentuk-bentuk pedoman atau aturan atau kontrol yang lainnya. Hukum menunjuk pada sebuah konsep legalitas yang berkaitan dengan bagaimana sebuah kebijakan dan aturan-aturan dibuat serta diterapkan lebih dibandingkan dari muatannya.
Syarat formal dari hukum:
- Hukum atau norma sangat lekat dengan ciri kepastian dan keteraturan. Sebuah patokan, pedoman atau norma akan terlihat dari adanya kepastian dan keteraturan.
- Hukum atau norma harus memperhatikan keadilan.
Legalitas dan Moralitas menurut Immanuel kant:
- Legalitas: dilihat sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka.
- Moralitas: kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan kita dengan norma atau hukum batiniah kita.
Hukum batiniah kita adalah apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita.
Visi humanities Kant menyatkan bahwa moralitas akan tercapai apabila kita melihat hukum lahiriah bukan lantaran hal tersebut membawa akibat yang menguntungkan bagi kita atau lantaran kita takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.