Monday, May 23, 2011

Hukum Perlindungan Konsumen

Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintas batas-batas wilayah suatu Negara.
Tampak barang dan atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produksi yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Kondisi yang demikian pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Pada sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Memperhatikan keadaan demikian, sehingga diperlukan upaya perlindungan konsumen dengan melibatkan berbagai pihak baik produsen, pemerintah, maupun konsumen sendiri.



PENDAHULUAN

Bila dilihat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : Tiap-tiap warganegara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memperoleh kehidupan yang layak itu perlu penyediaan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.
Kenyataan saat ini telah menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang bersekala yang besar maupun kecil, terutama sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan berencana yang disebut Pelita sejak zaman Orde Baru.
Pertumbuhan industri dan jasa yang pesat di satu segi berdampak positif yaitu ; Tersedianya persediaan kebutuhan yang mencukupi, mutunya baik, dan ada alternative pilihan. Sebaliknya segi negatifnya secara teknologi semakin ketatnya persaingan karena pengaruh masyarakat konsumen.
Ketatnya persaingan akan bisa mengubah perilaku kearah persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha mempunyai kepentingan yang saling berbenturan diantara mereka, akibat ini akan menimbulkan kerugian pada konsumen.
Menurut Prasasto Sudyatmiko ada empat contoh eleman yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat yaitu :
1. Konglomerasi
2. Kartel/trust.
3. Insaider trading
4. Persaingan tidak sehat/curang
Sekurang-kurangnya ada empat bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dari tidak sehatnya pihak bisnis seperti di atas yaitu : Menaikkan harga, menurunkan mutu, dumping, dan memalsukan produk.
Sehubungan dengan apa yang tersebut di atas konsumen perlu dilindungi secara hukum dari perbuatan bisnis curang tersebut untuk memenangkan persaingan. Oleh karena itu perlu peratuan hukum seperti misalnya cara membuat makanan yang sehat dan memberi perlindungan kepada konsumen yang diakibatkan oleh kesalahan memproduksi itu.
Perlindungan atas kepentingan konsumen ini diperlukan, karena konsumen pada umumnya berada di pihak yang lemah atau dirugikan. Masalah perlidungan konsumen bukan semata-mata masalah orang perorangan tetapi masalah besama atau masalah nasional sebab pada umumnya melidungi konsumen itu berarti melindungi kita bersama.
Dengan demikian sekurang-kurangnya ada 4 alasan pokok kenapa konsumen perlu dilindungi.
1. Melindungi konsumen sama halnya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia.
2. melindungi konsumen perlu untuk menghindari dari dampak negative penggunaan teknolog.
3. melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat jasmani dan rohani
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. (h.8)
Perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan kedua masalah keterikatan dengan syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian.
Karena berada dalam bidang perekonomian, khususnya dalam menjalankan bisnis maka hukum perlindungan konsumen termasuk dalam bidang hukum ekonomi. Dalam hukum perlindungan konsume dipersoalkan bgaimana ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan menjalankan bisnis sehingga tidak merugikan konsumen dan sebaliknya bagaimana konsumen dapat memperoleh perlindungan secara hukum atas hak-haknya sebagai konsumen.
Sehubungan dengan standarisasi ini pemerintah memegang peranan penting di dalam penetapa standarisasi, pembinaan dan pengawasan produk, serta distribusinga sehingga produsen benar-benar mentaatinya.





BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan :
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
Berbicara soal perlindungan konsumen mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen.
Cakupan perlindungan dalam dua aspek dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perlindungan kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam hal ini termasuk prsoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan penjual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan barangnya.
Biasanya syarat-syarat perjanjian itu telah tertuang dalam formulir yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu yang dicetak sedemikian rupa sehinga kadang-kadang tidak tebaca dan sulit dimengerti.

1. Tanggung jawab Produk.
Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk. Aspek ini sering disebut dengan produc leability. Dalam bahasa Indonesia disebut tanggung jawab produk.
Uraian diatas menunjjukkan bahwa tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, perjanjian Baku)
a. Pengertian
Aspek ke dua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang pemakaian standar kontrak dalam hubungannya antara produsen dengan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat suatu perjanjian tertentu, salah satu pihak telah mempersiapkan konsep (draf) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu sudah dissusun sedemikian rupa sehingga pada penandatangan tinggal menandatangani biasanya yang bersifat subyektif saja seperti identitas dan tanggal pembuatan perjajian. Sedangkan mengenai substansi perjanjian sudah ditulis dan tidak bisa diperbaiki.
Mengapa timbul praktik standar kontrak?. Tampaknya tidak ada alasan hukum (argumentasi yuridis) yang kuat untuk mendukungnya. Diperkirakan hanya untuk menghemat waktu dan uang (alasan ekonomis).

b. Problematik Penggunaan Standar Kontrak.
Dilihat dari segi kewenangan menetapkan syarat-syarat perjanjian standar kontrak dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu :
1. Standar kontrak publik
Adalah jenis standar kontrak yang ditetapkan oleh pemerintah Misalnya : akte jual beli tanah dan pembebanan hak atas tanah, yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT). Di sini pemerintah bermaksud untuk memberi keseragaman di samping bermaksud melidungi para pihak dari hal-hal yang merugikan.
2. Standar kontrak privat
Standar kontrak yang dibuat oleh badan/korporasi itu sendiri. Misalnya perjanjian kredit bank, perjanjian sewa menyewa dan sebagainya.
Dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak sebagaimana diatur dalam perjanjian yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen, produk dan standarisasi produk , peranan standar itu. Artinya pihak pungusaha (prinsipal), cendrung melinungi kepentingannya sedemikian rupa dengan menetapkan sejumlah hak sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan. Sebaliknya pengusaha meminimalkan kewajibannya sendiri, dan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa klausula-klausula standar kontrak cendrung menguntungkan pengusaha (prinsipal) sekaligus memberatkan pihak lawan.

B. BEBERAPA HAL YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung jawab produk , perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk kesatuan persepsi dalam pembahasan selanjutnya. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen, produk dan standarisasi produk, peranan pemerintah, serta klausula baku.

1. Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional. , Produsen yaitu setiap badan atau orang yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban dari produsen.
Tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.
Pasal 1 angka 3 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen, tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya , yaitu pelaku usaha yang diartikan sebagai berikut :
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha; baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah negara hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Dalam hal ini termasuk perusahaan, (korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya seperti BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan, importir, pedagang eceran, distributor, dan lain-lain.

2. Konsumen
Konsumen biasanya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Menurut Pasal 1 angka UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa :
Konsumen, yang berarti juga memungkinkan masyarakat terlibat dalam masalah ini adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (H. 17).
Sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 1 Angka 2 bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.
Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dengan masalah perlindungan konsumen ini.

3. Produk dan Standarisasi Produk.
Dalam pengertian luas, produk adalah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehtngga produk berkaitan erat dengan teknologi. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa :
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang perlindungan Konsumen bahwa :
Jasa, setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Pemakaian teknologi disatu segi memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka ragam jenis, bentuk, kegunaan maupun kualitas, sehingga kebutuhan konsumen dapat terpenuhi, secara luas, cepat dan menjangkau masyarakat luas. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi dimungkinkan menghasilkan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai.
Dengan standarisasi akan diperolah manfaat sebgai berikut :
1. Pemakaian bahan secara ekonomi, perbaikan mutu, penurunan ongkos produksi, dan penyerahan cepat. penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.
2. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.
3. Interchangeability komponen memungkinkan subcontracting.
4. Keselamatan kehidupan dan harta.
Dengan demikian standarisasi berfungsi menjembatani antara konsumen dengan produsen dengan menentukan standar produk yang tepat dan cepat.(20)
Untuk mencapai tujuan standarisasi ini yang perlu dimasukkan dalam standar produk adalah :
a. Terminologi dan definisi yang dapat dipakai sebagai bahasa yang sama-sama bisa dimengerti oleh produsen, penjual, distributor, dan konsumen.
b. Perlu ditentukan tingkat minimal bagi keselamatan, yang ditetapkan secara ahli yang memperhitungkan risiko yang dapat diterima.
c. Perlu ditetapkan cara dan produsen untuk menunjukkan apakah memenuhi persyaratan keselamatan minimum.
d. Perlu diusahakan kemungkinan dipertukarkan, baik bagi produk secara keseluruhan maupun bagi komponennya.
e. Perlu ditentukan kategori atau deret ukur yang cocok bagi konsumen; dan kemungkinan produsen untuk menghilangkan ragam produk yang tidak perlu.
f. Perlu dikembangkan perangkat cara dan prosedur yang legkap bagi pengukuran kemampuan dan mutu. (21)
Sebagai implementasi dari standarisasi ini, maka kepada produk yang sudah memenuhi standar diberikan sertifikasi produk (Certification Marking) yang dibuat dengan standar SII atau ANI, yang dapat ditempatkan pada produk, kemasannya, atau dokumennya.
Melalui sertifikasi produk ini akan diperoleh manfaat dan keuntungan, baik bagi produsen, maupun konsumen, yaitu sebagai berikut :
a. Bagi produsen, lebih memberikan bobot dan membuktikan bahwa hasil produksinya memenuhi persyaratan standar secara konsisten dan memberikan bantuan dalam meningkatkan penjualannya di pasar dalam dan luar negeri
b. Bagi pemakai profesional atau konsumen umum, memberikan indikasi yang dapat dipercaya bahwa barang-barang sesuai dengan persyaratan standar secara konsisten.
c. Transaksi lebih lancar karena pemakai atau konsumen tidak perlu menguji dulu barang-barang yang akan dibelinya.
Untuk bisa mencapai manfaat dan keuntungan ini produsen diperlukan kejujuran untuk mentaati standarisai yang sudah ditetapkan.(23)

4.Peranan Pemerintah.
Supaya tujuan standarisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, dan mengendalikan produksi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatan maupun keuangannya.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah :
a. Registrasi atau penilaian.
b. Pengawasan produksi
c. Pengawasan distribusi
d. Pembinaan dan pengawasan usaha
e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.(24)

5. Klausula Baku
Sehubungan dengan standar kontrak adalah menggunakan klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang perlindungan Konsumen adalah:
Klasula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Pembuat UU ini menerima kenyataan bahwa pemberlakuan standar kontrak suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.
Namun demikian, dirasa perlu untuk mengaturnya sehingga tidak disalahgunakan dan atau menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan konsumen membuat sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam (standar) kontrak, yaitu sebbagai berikut :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang merupakan aturan baru, tambahan, lanjutan , dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memnfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan, terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2). Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit dilihat atau tidak bisa dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3).Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UU ini.

Dari ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen di atas, larangan penggunaan standar kontrak dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya.
Di samping itu, undang-undang ini mewajibkan pelaku usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang dipergunakan dengan ketentuan undang-undang ini.(27)























No comments: