Monday, May 23, 2011

Status Kewarganegaraan Anak hasil Perkawinan Beda Kewarganegaraan



Puluhan ibu serta aktivis beberapa LSM yang hadir pada pengesahan Undang Undang Kewarganegaraan baru pada 11 Juli 2006 lalu di gedung DPR/MPR Jakarta bersorak gembira. Peluk cium juga tangis kebahagiaan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya dan kibaran merah putih memeriahkan pemandangan di luar ruang sidang.
Hari itu DPR mengesahkan UU Kewarganegaraan baru menggantikan UU No 62 tahun 1958 yang mengacu pada Staanblad 1910-296 warisan pemerintah Kolonial Belanda. UU baru baru yang sangat berarti bagi anak-anak hasil perkawinan wanita WNI dengan pria WNA, juga anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri.

Menurut UU No.62/1958 yang menganut asas Ius Sanguinis (kewarganegaraan mengambil garis darah ayah), anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita WNI dengan pria WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Dalam UU kewarganegaraan baru disebutkan bahwa WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya.
Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI, atau selama masa tenggang tiga (3) tahun itu, ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia.
Bagian yang paling penting dari UU baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan Ius Soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun.
Artinya, sampai anak berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut, plus tenggang waktu 3 tahun untuk mempersiapkannya, barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya.

Beberapa WNI di Inggris, yang sudah berstatus permanent resident (PR) banyak yang tidak sadar bahwa anak mereka yang lahir setelah status PR keluar, menurut UU Kewarganegaraan Inggris otomatis si anak menjadi Warga Negara Inggris. Dan menurut UU Inggris itu, si anak baru bisa pindah kewarganegaraan lain setelah usia 18 tahun.
Kerepotan ini terjadi ketika kedua orang tua anak tersebut berencana meninggalkan Inggris sebelum anak berusia 18 tahun. Dengan UU Kewarganegaraan baru ini, anak-anak tersebut bisa memiliki kewarganegaraan ganda (Warga Negara Inggris dan Warga Negara Indonesia) sampai usai 18 tahun. Dan kelebihannya lagi, UU Kewarganegaraan baru ini juga berlaku bagi-anak anak yang lahir sebelum tanggal 11 Juli 2006. Artinya, anak-anak Indonesia di luar negeri yang karena peraturan negara mereka tinggal telah menjadi warga negara tersebut bisa apply menjadi WNI dan mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usai 18 tahun plus 3 tahun masa peralihan.



BAB II
WARGA NEGARA INDONESIA
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah:
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
e. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asala ayahnya tidak memberikan kewargaanegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun dan/atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Pasal 5
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf f, huruf m, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.





Menurut UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006
1. Status Kewarganegaraan Anak
Dalam Undang-Undang kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 Memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut :
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
5. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan orang tua, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat 1 sampai 3 UU No. 12 Tahun 2006 yakni :
1. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
2. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
3. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

Status kewarganegaraan anak berdasarkan aturan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Hal tersebut diatur dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, yang berbunyi : “Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.”
Untuk anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin akan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan yakni pada tahun 2010. (Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006). Namun jika sampai tenggat 1 Agustus 2010 anak-anak hasil perkawinan campuran ini tidak didaftarkan ke Depkumham, maka mereka akan kehilangan hak menjadi WNI. Mereka akan diperlakukan sebagai WNA yang izin tinggalnya memakai KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) dan masuk ke Indonesia memakai Visa. Selama anak tersebut berstatus WNA, ia tidak masuk yurisdiksi Indonesia. Jadi kalau anak tersebut berada di luar negeri ia tidak bisa masuk KBRI untuk minta perlindungan.
Pemberian kewarganegaraan ganda dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 bagi anak hasil perkawinan campuran ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas (sampai usai 18 tahun atau sudah menikah) untuk anak hasil perkawinan campuran.


2. Kendala Kewarganegaraan Ganda Bagi Anak
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetapi berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil (syarat yang menyangkut pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah)
harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil (syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan, biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan) mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.
Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

No comments: